Monday, May 13, 2019

seri ranesi

Kerja Praktek di Belanda

Bulan Mendota
06-02-2007

Salah satu syarat kelulusan sekolah di tingkat HBO (hogeschool beroep
onderwijs) adalah melakukan  kerja praktek di perusahaan yang
berkaitan dengan jurusan mereka masing-masing. Empat orang mahasiswi
Hogeschool Inholland Diemen, membagi pengalaman suka-duka mereka
selama bekerja di perusahaan Belanda.

nefry dan upik.jpg

Nefry dan Palupi
Syarat kelulusan
Kerja praktek adalah sebuah  keharusan bagi para pelajar di Belanda
yang  bersekolah di hogeschool. Kerja praktek ini biasanya dilakukan
ketika pelajar tersebut menginjak semester lima, dan jangka waktu
mereka bekerja disana adalah sekitar enam bulan sampai dengan satu
tahun. Kerja praktek ini seiring dengan tujuan dari sekolah di
hogeschool itu sendiri, mempersiapkan para pelajar hogeschool di dunia
kerja. Selesainya kerja praktek, para pelajar diharapkan bisa
mengetahui lebih banyak pengalaman dalam bekerja di suatu perusahaan
dan bisa menjadi bekal setelah mereka lulus dari sekolah.



Dian Apradika, mahasiswi Inholland Diemen jurusan International
Business and Management, bekerja pada salah satu perusahaan perhotelan
di Belanda bercerita bahwa untuk mendapatkan kesempatan kerja praktek
prosesnya cukup gampang. Dia hanya mengirim lamaran dan resume diri
kepada perusahaan tersebut kemudia perusahaannya memanggilnya untuk
wawancara. Nefry Ivon, mahasiswi jurusan IT, mendapatkan perusahaan
untuk kerja prakteknya melalui website yang memang melayani para
pelajar yang sedang mencari perusahaan untuk kerja praktek, seperti
www.stageplaza.com dan www.stagemotor.nl.

Mulai dari tahun 2007, urusan ijin kerja untuk kerja praktek lebih
mudah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Untuk bekerja praktek, pelajar
hanya membutuhkan perjanjian kerja antara pelajar dan perusahannya.
Berbeda dengan tahun lalu yang mengharuskan pelajar untuk mempunyai
ijin kerja dari CWI (Organisasi Pekerja).

dika jihan.jpg

Dian dan Jihan
Gugup
Bekerja dengan orang Belanda di sebuah perusahaan adalah salah satu
pengalaman yang berkesan bagi para pelajar tersebut. Palupi Kusuma,
mahasiswi jurusan IT yang melakukan kerja praktek di sebuah perusahaan
IT di Utrecht, mengatakan  bahwa pertama kali bekerja dia agak gugup
dan takut mengingat semua pekerjanya berkomunikasi dengan Bahasa
Belanda. Kenyataanya, para pekerja disana menyambut Palupi dengan
ramah dan mengajak ngobrol dia. Nefry sendiri menyatakan pada awalnya
dia takut karena kebanyakan para pekerjanya berusia lebih jauh dari
umurnya.

Jihan Nizami, yang sempat merasakan kerja di perusahaan elektronika
terkenal di Nijmegen, mengatakan pengalaman yang paling menyenangkan
adalah ketika dia mendapatkan gaji di akhir bulan. Kebanyakan dari
mereka mendapat gaji sekitar 300-500 euro per bulan.

"Pertama kali mendapat gaji dari kantor rasanya kita benar-benar sudah
dewasa," imbuhnya.

Nefry sendiri menyatakan pengalaman yang paling menarik adalah
bagaimana dia bisa menyesuaikan diri dengan pemikiran orang Belanda,
yang berbeda dengan pemikiran orang Asia. Dia juga menambahkan,
keuntungan dari bekerja di Belanda adalah dia bebas untuk berpendapat
dan para pekerja itu tidak memandang sebelah mata pada dia.
Rekan-rekan kerjanya yakin akan kemampuan Nefry dan menghargai
pendapatnya.

Bagi Dian, yang paling menyebalkan adalah ketika dia harus melihat dan
terlibat pada konflik internal perusahaan.

" Tidak enak aja melihat bagaimana  setiap department menganggap
departmentnya paling penting dan kemudian saling melimpahkan tugas,"
ceritanya.

Kesempatan kerja
Salah satu keuntungan bekerja praktek, selain mendapat gaji, juga
adanya kemungkinan untuk bekerja disana. Nefry sendiri kembali ke
perusahaanya untuk bekerja paruh waktu setelah masa waktu untuk kerja
praktek berakhir.

 "Tekanan beban dan tanggung jawabnya berbeda dengan saat kita kerja
praktek disana, lebih terasa. Sebabnya kita disana dibayar bukan untuk
belajar lagi, tapi benar-benar bekerja," jawabnya ketika ditanya
kesannya bekerja paruh waktu di tempat perusahaan kerja prakteknya
dulu.

Citation: http://www.ranesi.nl/zonapelajar/sekolahdanbeasiswa_051124/kpbld060207
    se

    Peninggalan Masa Kejayaan Islam di Benua Afrika

    Peninggalan Masa Kejayaan Islam di Benua Afrika



    Marrakesh, ibu kota Maroko, terletak di bagian utara benua Afrika. Saat berkunjung ke sana, saya masih tinggal di Prancis, menemani suami yang sedang belajar. Bagi orang Prancis, Maroko memang bukan negara asing, karena merupakan negara bekas jajahan Prancis di Afrika.

    Begitu mendarat di bandara Marrakesh, tak biasanya petugas menanyakan bisa saya. Saya maklum, karena mungkin tidak seminggu sekali ada turis dari Indonesia datang ke Marrakesh, sehingga mereka tidak sadar bahwa warga Indonesia bisa masuk ke Maroko tanpa visa.

    Meskipun tinggal di Afrika Utara, orang-orang Maroko adalah keturunan Berber yang masih satu akar dengan orang Timur Tengah dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Ketika tahu bahwa kami berasal dari negara Asia dengan penduduk muslim terbanyak, mereka sangat gembira. Kemampuan bahasa Prancis saya sedikit banyak membantu untuk bercengkerama dengan warga lokal, karena mereka kebanyakan hanya bisa berbahasa Arab dan Prancis. Hanya sedikit yang bisa berbahasa Inggris. 

    Madrasah Ali bin Yusuf yang berada di tengah-tengah souk merupakan salah satu bukti bahwa Marrakesh pernah menjadi pusat belajar agama Islam di masa silam. Ketika masuk di dalamnya, kami terpesona melihat masjid dan ruangan yang dahulu dijadikan tempat tinggal sekitar 150 ornag santri, yang kabarnya rela dari berbagai penjuru negeri melintasi gurun untuk belajar di sini. Selain bisa melihat bagian dalam masjid yang penuh dengan ukiran kaligrafi, kami juga mengintip bekas kamar para santri di bagian salle d'etudiants. 



    Kami juga mengunjungi Bali Palace dan Bahia Palace untuk melihat kemegahan Islam di Marrakesh yang masih tersisa. Badi Palace dulunya adalah sebuah kerajaan megah yang dibangun tahun 1500an, tetapi sekarang sayangnya tinggal reruntuhan saja. Namun saya masih bisa melihat ukiran kaligrafi emas yang menghias mimbar Masjid Koutabia.

    Sementara Bahia Palace yang baru dibangun pada abad ke-19, menjadi tempat 'ngadem' yang menyenangkan untuk menghindari terik matahari siang Marrakesh yang garang. Bahia Palace, yang juga merupakan harem tempat Bou Ahmed menempatkan 4 istri dan 26 selirnya, terlihat cantik dan sejuk dengan hiasan bunga dan kaligrafi serta ubin keramik yang didominasi warna biru dan hijau. Kucing-kucing liar yang merupakan penghuni Bahia Palace menjadi 'model dadakan' yang kerap dijadikan sasaran kamera para turis.

    Masjid Koutabia yang berada di bagian selatan Jemaa el-Fna adalah salah satu ikon kota Marrakesh. Di malam hari, banyak penduduk berlalu lalang dan berjualan di depan masjid tersebut. Ketika waktu salat tiba, mereka meninggalkan begitu saja dagangan mereka di luar dan masuk ke masjid untuk menunaikan salat.