Monday, December 12, 2005

Apa Artinya Sebuah Rumah?

Lokasi : Amsterdam Central.

Pintu kereta itu otomatis menutup ketika peluit tanda kereta sedang ditiup. Penumpang tergesa-gesa mencari tempat duduk yang kosong. Aku mengikuti arus penumpang di sekitarku sambil sesekali melirik tanda kelas kereta diatas, apa benar ini kereta tweede klaas . Ketika menemukan satu tempat duduk yang kosong dengan segera ak duduk, bersandar di jendela di sampingku.
Suasana malam itu seperti malam biasanya. Amsterdam memang cantik kalau malam hari, batinku sambil mengagumi lampu lampu yang menerangi pelabuhan di dekat stasiun kereta. Hanya dua pemberhentian, aku sampai ke stasiun kereta kotaku yang sunyi, Diemen.

Hari itu, seperti biasa kalau aku ada waktu senggang, kami baru saja selesai main bilyard di centrum Amsterdam. Dan hari ini tim nya lumayan lengkap tiga cowok dan tiga cewek. Aku benar benar menikmati malam itu yang hanya menghabiskan tiga euro untuk dua jam. Sudah bukan rahasia lagi, tempat kami bermain bilyard itu adalah tempat bilyard termurah di Amsterdam. Untuk kantong student seperti kami, harga murah adalah segala-galanya. Dan seperti biasanya, pembicaraan kami hari itu berkisar tentang isu isu terbaru di Indonesia, gosip gosip di Indonesia dan dilanjutkan dengan seksi curhat.

Sambil berjalan ke apartemenku, aku tersenyum-senyum mengingat pembicaraan kami, celetukan celetukan yang ada dan kadang pembahasan pada hal hal yang tidak penting.
Aku melirik pada teman sebelahku, Tia yang dari tadi hanya diam memikirkan sesuatu. Dari di kereta dia tampak diam saja, sambil khyusuk menekan tombol di hand phone nya.

“Lagi berantem, Ti ?” tanyaku
“ Yah gitulah.. dia kayaknya mulai bosen ama hubungan jarak jauh ini”
“Hmm” jawabku sekenanya, bukan sekali ini dia menceritakan masalah hubungan jarak jauh ini dan dia bukan orang pertama di Amsterdam yang mengeluhkan soal hubungan jarak jauh.
“ Lagi mikir apa? “ tanyanya balik.
“ Rumah” jawabku setelah beberapa detik diam.
Dan Tia mengangguk maklum. Memang, bukan hanya kali ini dia mendengar aku mengeluhkan masalah ini.

-----------------------------------------

Lokasi: Kamar Apartemen, Diemen

Home is the place and people you belong to. Begitu kata artikel di sebuah majalah remaja ini. Aku tertegun sebentar , lalu menutup majalah itu dan mulai menyalakan laptopku.

Sign In to MSN .
User name : Fikariyani@hotmail
Password : ******

Signing in

Change personal setting
My status : Fika <3 Home is the place and people you belong to.
Personal Message : tell me, where is my home, then?

Aku mulai melihat siapa saja yang online dan hari ini nampaknya tidak banyak yang online. Ting! Tiba-tiba ada bunyi tanda email baru masuk .
From: venalina@plasa.com subjek: Fik…

Dengan tergesa-gesa aku klik kotak biru itu, dari tunangan kakakku yang sudah aku anggap seperti kakak cewekku sendiri.

Pasti soal rumah. Batinku.
Dan memang, dia menceritakan soal keadaan rumah yang semakin dingin. Ayah dan kakak yang semakin jarang komunikasi dan rumah yang semakin hari semakin kosong.
Aku menangis. Ya, sekali lagi aku menangis.


Seketika aku membayangkan suasana rumah tiga tahun yang lalu, ketika sang Ibu masih berada di sisi kami, dan aku juga teringat dua tahun yang lalu, ketika aku mendapat kabar mama sudah kembali ke tempat-Nya. Aku masih bisa mendengar sisa-sisa histeris teriakanku, dan ketergesa-gesaanku mengurus visa untuk pulang, kekhawatiran teman teman satu apartemenku, dan kesabaran teman-temanku menjaga agar aku tidak sendirian di kamar. Dan aku masih bisa merasakan senyum mereka ketika mengantarku ke Schiphol, kecemasan mereka semua terekam dengan baik di kepalaku.

Musim semi sudah mulai terasa. Kupalingkan wajahku ke jendela, seketika ak bisa melihat ujung ujung daun mulai muncul di pohon samping kamarku. Aku tersenyum, rasanya baru saja pohon itu menggagas dan baru saja serbuk serbuk salju menutup ranting ranting kecil pohon itu. Hidup di luar negri memang terasa sangat cepat.

Tia tiba tiba masuk ke kamarku. Secepat mungkin aku seka bekas bekas airmata dan mulai tersenyum.

“Fik, aku dapet KLM 448 euro, harga student , pake kartu ISSC ” katanya semangat.
“itu enkele reis ? “
“iya , iya lah.. aku kan bakal magang di Indonesia setahun.”
“Oh iya, kamu bakal magang di Indonesia yah, ak lupa…”
“Kamu?”
“Apa? “ kataku mengerinyitkan dahi.
“ Jurusanmu juga mengharuskan kamu stage setaun kan? Kamu mau magang di mana emangnya?”
Sesaat aku diam. Teringat lagi ayah kakak dan rumah.
“Mungkin bukan di Indonesia. Aku udah dapat di sini. Mungkin disini ajah”
“Libur musim panas nanti? Kamu pulang kan?” tanyanya lembut.
“Aku rencana mulai magang bulan Agustus Ti, mungkin aku ga pulang kali ini”


Tia diam, sebelum keluar dari kamarku, dia berkata pelan.
“Jangan menghindar, Fik..”

Aku diam. Sesaat kemudia aku segera mengambil jaket tebal dan syal ku, memakai kaos kaki dan bersiap siap sambil membawa kameraku. Foto hunting. Untuk meringankan beban di kepalaku yang semakin lama semakin penat. Ucapan Tia berbarengan dengan surat Vena hanya membuat aku penat.

Kalau memang rumah adalah suatu tempat yang membuat kamu nyaman, maka Belanda ini adalah rumahku. Aku menemukan kenyamanan dalam teman-temanku, dalam kegiatanku, dalam kesendirianku. Aku tidak akan terus-terusan ditanya oleh orang-orang sekitarku tentang ini dan itu. Aku bisa hidup dalam ketenanganku, dalam kesendirianku.
------------------------------
Lokasi: Leidseplein, Amsterdam
“Kamu dewasa Fik, kamu mestinya bersyukur tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang kamu mau. Banyak yang ingin menjadi seperti kamu,” kata Tia sambil meneguk kopinya.
Siang itu memang kami memutuskan untuk mengobrol sambil minum kopi ala orang Belanda di De Jaren, salah satu café pelajar terkenal di Amsterdam.
Pemandangan kanal dan jembatan yang indah dan sunyi membiusku.
“Kamu yang ga ngerti Tia, aku sendiri gak pingin hidupku seperti ini, aku masih muda Ti.. Aku ngerasa belum pantes menerima masalah keluarga seperti ini, siapa yang mengira kalau keluarga ku akan jadi seperti ini? Kamu enak masih punya keluarga lengkap tanpa permasalahan disana” serbuku emosi. Tia hanya diam sabar mendengar keluhanku.
“ Fik… orang jatuh cinta kan ga bisa dilarang.. liat aja disini, banyak orang yang suka sama jenisnya sendiri, dan memang kita tidak bisa melarang itu kan? Itu terjadi natural sayang, setiap orang berhak jatuh cinta. Kamu sendiri yang bilang kalau orang bisa suka sesamanya itu hak asasi manusia itu sendiri. Kenapa kamu ga bisa menerapin ini sama dia.. Padahal dia tidak suka sesama, hanya dia jatuh cinta lagi… “
“Tetapi pada saat dan waktu yang salah…” semburku masih mengeluarkan emosi.
“ Hanya karena dia sekarang punya kamu dan kakakkmu, dan dia menggantikan orang yang kamu cintai dan biasa kamu lihat sebagai pasangannya… Bukan berarti setelah pasangannya tidak ada, dia tidak bisa jatuh cinta lagi… “
“ Tapi dia masih punya aku dan kakakku yang juga mencintainya, kenapa dia masih harus mencari orang lain? “
“ Jangan egois Fik…” katanya menenangkan.

Amsterdam hari itu penuh sesak, aku dan Tia berjalan kaki menuju Central Station, sekelebat kulihat sesama pria saling berpegangan tangan, kasmaraan. Dan sisi humanisku berkata sekali lagi, yah itu kan hak mereka.

Tetapi kenapa aku tidak bisa menerapkan ini sama dia, batinku bertanya lagi.

--------------------------------------------

Lokasi: Ruang Tengah Apartemen, Diemen

Sayang, lagi ngapain? Harga BBM mau naik, semua orang panik. Tanggal 10 Agustus nanti ayah mau ngadain akad nikah. Apa kamu bisa datang ?
Sender: Ayah

Dan seketika aku langsung menangis. Tidak pula aku balas sms darinya. Semua teman-teman serumah ku mulai menenangkanku. Dan juga segera aku telpon kakakku. Dia berusaha menenangkan aku yang histeris. Ketika dia menawarkan untuk berbicara dengan ayah, aku menolak. Segera aku tutup telepon internasional itu.

Tia yang tampak panik berusaha mentenangkan sambil membawakan aku air putih.
“Aku ga mau dateng Ti.. aku mau disini ajah.. Aku ga akan dateng Ti… Aku sakit hati…sakit hati banget Ti.. “
Tia hanya dia sambil mendengar racauanku. Dan aku semakin meracau. Tidak jelas, kesal, marah, nangis , sesenngukan semua jadi satu.

Aku minta Tia buat meninggalkan aku sendirian. Dalam kediaman aku membuka album fotoku, disana kulihat Mama tersenyum dan menggadengku, aku melihat ayah di sampingku dan kakakku disampingku. Kami keluarga bahagia, batinku. Lalu semuanya terlintas begitu saja, masa kecilku, jalan-jalan ke Taman Mini, acara keluarga besar, masa-masa SMA ku, ketika mendengar penyakit mama, ketika mengetahui aku harus ke Belanda dan pandangan mata terakhir mama di Airport.

Aku menangis sampai pagi.
-------------------------------------------------

Lokasi : Vondelpark, Amsterdam

Musim semi baru saja menghampiri Negara dimana pernah menjajah negriku tercinta. Negri yang sangat aku rindukan. Negri yang sudah tak pernah aku sapa sejak terakhir Mama pergi dari dunia ini. Dua tahun yang lalu. Masih waktu yang singkat, tapi kerinduanku benar-benar sudah memuncak. Aku rindu udara panasnya, aku rindu polusinya, aku rindu warung-warung, aku rindu keramaian itu, aku rindu gosip-gosip tidak bermutunya, aku rindu keramahan itu, terutama aku rindu pancaran mata mereka. Pancaran mata ingin tahu yang kadang membuatmu sakit. Pancaran mata ingin membantu tetapi kadang malah merepotkan. Pancaran mata penasaran ketika melihat kamu bersedih. Dan yang paling aku rindu, pancaran mata kasih sayang dari ayah dan kakakku.


Taman kota ini penuh dengan bule-bule berjemur setengah telanjang, bapak-ibu-anak piknik, cewek-cowok berciuman, anak muda memakai cimeng dan bermabuk-mabukan, dan pria-pria yang bercinta.

Haruskah aku larang mereka?
Bisa apa aku?
Dan bisa apa aku melarang dia untuk jatuh cinta lagi?

Lokasi : Cathay Agent travel, Dam Square, Amsterdam

“ Mau bayar tiket pesawat, Oom” Kataku tersenyum sambil membuka pintu kantor.
Oom Rob, begitu kami biasa memanggilnya, tersenyum balik kepadaku, tangannya cekatan mencari di balik tumpukan tiket-tiket itu.

Aku sudah memutuskan. Teguhkan hatimu, Fik. Kataku menenangkan diri sendiri.

Aku pejam mata, desiran angin panas Indonesia terasa nyata di semua indra perasaku.

“ Pake kartu debit atau cash, nduk ? “ sapanya membangunkan lamunanku.

“ Kartu debit , Oom..”

Oom Rob tampak sibuk menekan tombol-tombol di mesin kecil itu. Aku terpana melihat tarian jemari tangannya.

Tinggal sedekat ini untuk kembali. Aku bisa saja berlari pergi dan membatalkan ini semua. Oom Rob akan mengerti.

“ Tekan tombol ‘Ja’ “ katanya lembut.


Tombol ‘Ja’. Satu gerakan tangan yang akan mengubah semua.
Pendirianku. Masalahku. Prinsipku. Tangisku. Kelamku.

Satu gerakan tangan yang akan membebaskan.
Satu gerakan tangan untuk keiklasan.
Satu gerakan tangan untuk cinta.
Cinta yang tak pernah habis untuknya.
Satu gerakan tangan untuk bertemu dengan rinduku.
Rumahku.

“Home is the place and people you belong to.”

Lokasi : Di depan mesin atomatis kartu debit

“JA”

*************************************
12 December 2005
Ivoordreef 161 Utrecht
*saya memang hanya bisa terinspirasi ketika banyak kerjaan :D