Wednesday, September 29, 2004

Matahari bersinar malu-malu bangun dari peraduannya, Sang Ibu sudah terlihat sibuk dengan rumahnya. Suatu rumah yang tidak besar, ato tidak bias sebuah bangunan beralas kayu itu bias kamu sebut rumah, Apalagi keadaan disekitarnya tidak mendukung sama sekali bayangan tentang rumah. Disana, hanya terdapat satu ruang dengan pembatas kain untuk menyekat ruang2 di dalamnya.

Putri, terbangun dari tidurnya kala dia mencium bau masakan dari ruang yg mereka sebut dapur.

“ Pagi-pagi begini sudah bangun, Mak?”
“ Ini mah sudah jam 4, Put, memang sudah waktunya bangun. Lagian kalo tidak bangun sekarang, warungnya tidak bias buka donk, kamu juga bangun, kamu kan harus sekolah”

Sejenak Putri memandang punggung Maknya itu, sekelebat dia bisa membayangkan semua pengorbanan yg sudah Mak nya tanggung dari saat dia berumur 5 tahun, ketika Bapaknya bilang akan kerja merantau tapi sampai sekarang, sampai dia dan Maknya harus pergi ke Jakarta untuk mencarinya, si bapak yg dia maksud belum ketemu juga.

Walau Maknya tidak pernah berkata macam-macam. Putri tahu, kalau Maknya masih merindukan Bapaknya dan masih setia menunggu Bapaknya itu.

Jakarta, pagi-pagi begini sudah terlihat ramai. Putri sudah terbiasa melihatnya, ada seorang perempuan yg bermake up seronok pulang ke rumah, ada Bapak2 yg bersiap pergi ke kantor dan ada pula perempuan yang terlihan cantik dengan pakaian warna-warni nya ,walau kadang Putri anggap pakaian mereka agak mecolok, orange dengan hitam, dengan rambut disanggul tinggi dan make up tebal.

Putri pernah mengenal salah satu dari mereka, seorang gadis yang berasal dari daerah yang sama dengannya, ketika dia mendapat pekerjaan ituh, dengan seragam itu, gaya berbicaranya mulai berubah. Setidaknya Putri menilai gadis itu sudah mulai memaksa diri untuk berbicara lo-lo-gue-gue.

Putri memasuki ruang kelasnya dengan ceria. Mengingat mungkin ini saat terakhir dia akan berada di bangku sekolah, sebab Putri tidak yakin kalo Maknya akan mampu menyekolahkan dia ke bangku SMP.

Putri tahu, terlalu banyak kesedihan di kehidupannya, tapi Putri juga tahu kalo dia tidak sendiri. Masih banyak yang bernasib sama dengan dia ato lebih buruk daripada dia.

Ketika sekolah usai, dia mulai mencoba untuk mengadu nasib. Ada yang beda hari ini, Putri yang biasa terpaksa melakukan ini, sekarang dia mulai menikmatinya.

Putri menemuka objek yang berhasil membuat dia tersenyum. Sudah satu bulan ini, di lapangan parkir Pondok Indah Mall ada seorang pria yang memesona hati Putri.

Yah, Putri sedang jatuh cinta. Putri tersenyum mengingat kata kata itu. J-a-t-u-h-c-i-n-t-a. Putri mencoba mengeja kata kata itu. Ada perasaan gelid di hatinya. Kalo sampe Mak tahu, katanya tersenyu, bisa habis Maknya melarang untuk kerja lagu.

Yah, Maknya tidak pernah menyuruh Putri untul melakukan pekerjaan ini, mengamen. Maknya selalu berkata bahwa dia bisa membiayai Putri. Tetapi, ketika suatu saat dia melihat maknya menangis karena tidak punya uang dan Putri memberikan hasil uangnya padanya. Maknya tidak bisa melarang Putri lagi.

Putri sedang jatuh cinta! Serunya lagi. Yah, setidaknya Putri bisa terus tersenyum hari ini. Melihat Sang Pujaan yang terlihat tampan dengan seragam biru muda itu.

Plak.. “Put, kamu lagi liat si Herman lagi yah” seru Diah, sahabatnya yang berprofesi sama dengannya.
Muka Putri berseru merah. Dia memalingkan muka , tanpa berkata apa-apa. Seketikanya dilihat lampu traffic light sudah berwarna merah. Dia segera pergi ke sana dan mulai berkerja.

Hari ini, perilakunya sopan dan nyanyiannya terdengar lebih merdu. Tak heran banyak orang yang simpati padanya dan memberinya uang. Teman temannya heran melihat kelakuan Putri. Diah hanya tersenyum melihat seru merah di muka Putri saat teman temannya menanyakan ada apa dengannya.
Jam sudah menunjukkan setengah 9 malam ,ketika jalanan sudah tidak seramai tadi, ketika Diah menarik Putri untuk bercakap-cakap.
“ Kamu mau ikut aku, Putri?”
“kemana?”tanyanya sambil mengerinnyitkan wajahnya.
“ Hari ini temannya Herman mengajak ku jalan-jalan…” katanya penuh makna.
Putri tau apa artinya dari maksud dan tujuan Diah, Putri yakin kalau mereka tidak akan sekedar jalan-jalan.
“..siapa tahukan si Herman bakal ikut kalau ketemu kamu…”
Putri tersenyum pahit. Apa katanya Mak nya nanti kalo dia ikut Diah sekarang.
“jadi?...”kata Diah menunggu reaksi Putri yang sejak tadi hanya diam seribu bahasa.
Putri menggeleng, lalu dia segera pergi tanpa mendengar bujuk rayu Diah lagi.

Ini yang selalu dicemaskan Emak. Emak selalu ngomong meskipun dia miskin, dia tidak mau anaknya lalu menjadi berantakan. Putri menghargai itu, dia gak mau melihat Emaknya sengsara gara gara dia.

Hasilnya lumayan, kata dia melihat duit yang dia terima hari itu. Dia pulang dengan riang. Di rumah terlihat sepatu tamu terpampang di depan. Seorang lelaki, bapak-bapak, terlihat sedang meminum kopi di ruang tamu mereka. Putri juga melihat ibunya di sebelahnya menemani Bapak itu dengan diam.

“ Hei, halo… ini Putri ya? Sudah gede yah, sudah jadi gadis” katanya memandang seluruh tubuh Putri.Putri risih melihat pandangan Sang Bapak Itu. Dia hanya diam dan trsenyum.

“ Putri, ini temen Bapak dulu di kampung, dia sama-sama kerja dengan Bapak.” kata ibu menjelaskan
Putri menunggu lanjutan ucapan ibunya.
“Putri, bapak sudah meninggal 1 tahun yang lalu, kecelakaan Put..”
Putri tercenang. Bapaknya… hanya sedikit kenangan Putri tentang Bapaknya, tapi itu mampu membuat Putri menitikkan air mata.
Putri terbayang kehidupan diJakarta… tujuannya yang hanya untuk menyusul Bapak..

“ Kamu tahu, Putri? Bapakmu selalu kangen ama kamu, tapi dia itu malu, katanya, kerja jauh jauh kok ya cumin jadi buruh, padahal bapakmu kan punya ijazah STM. TAdi, Bapak kaget sekali pas liat Mak mu di Pasar. Bapak gak nyangka bakal nemu Mak mu lagi disini.”

Putri terus terdiam mendengar penjelasan lelaki itu. Dia memilih masuk dan tertidur di ranjangnya,. Dia sudah cukup penat dengan semua kenyataan yang ada.
Sejenak masih terdengar percakpan antara Ibunya dan Pak Dodi.

Hari ini Putri terlihat lemas, apalagi hari ini dia sama sekali tidak melihat Herman. Uang yang diterimanya sedikit. Sementara Emaknya sejak mendengar kabar dari Pak Dodi, terlihat tidak semangat untuk meneruskan hidupnya. Putri sudah berbicara pada ibunya, dia ingin kembali ke kampung. Setidaknya di kampung, dia masih punya nenek dan kakek yang bisa membantunya untuk sekolah di SMP. Mak hanya diam. Dia tampak berpikir keras menanggapi pernaytaan anak semata wayangnya ituh.

Tiba- tiba Diah muncul di depannya, sambil tersenyum senang.
“aku puya kabar baik buat kamu..”
“oh ya?.. katanya diam.
“Si Herman nyariin kamu tuh… , tuh liat dia sekarang lagi jalan ke sini kan…”
“Kok bisa?...ahhhh kamu pasti ngomong ya ama dia.. ah.. Rese amet sih kamu”
Herman tampak mendekat ke arah mereka berdua.
“Oh jadi ini yang namanya Putri…” kata Herman melihat Putri.
Putri tampak salah tingkah.
“Ehm, boleh juga, kamu mau dibayar berapa semalem? Sama kayak si Diah yah”
PLAKK!!!!!!! Tanpa sadar Putri sudah menamparnya.
Dia berlari, tanpa mempedulikan teriakan Diah yang memanggil manggil namanya.
Akhirnya Diah bisa menahan Putri. Putri yang tampak kelelahan dan nafasnya ngos-ngos an, menarik tangannya dari genggaman Diah.
“Putri… maaf,.. ak gak tau kalo dia bakal ngomong gitu. Maaf ya Put… ak gak maksud..”
Putri hanya diam mendengar perkataan sahabatnya itu. Dia diam diam menangis.
“putri.. “ panggil Diah lirih sambil memeluk sahabatnya itu.

Putri pulang dengan keadaan lemah. Maknya menyambutnya dengan senyum, namun tercenang melihat reaksi Putri yang datar.
“putri.. ada apa?” kata Maknya lembut
Putri hanya diam… Maknya tersenyum dan melanjutkan kata2nya
“dengar put.. Mak kira kembali ke Kampung itu lebih baik. Tapi, tunggu ampe kamu lulus yah? Mak juga mau nambah modal buat bikin usaha di kampung. Putri sabar yah… kan tinggal 3 bulan lagi.
“ Mak.. Putri mau pulang saja..”katanya lirih.
Maknya tersenyum, kemudian mengangguk penuh makna..

2 bulan terakhir ini, Putri mengubah trayek ngamennya. Dia gak mau ngamen di depan PIM lagi. Walhasil, hasilnya terlihat berkurang. Tak urung, Putri terlihat kecewa. Pulangnya selalu larut malam, diatas jam 9, tapi penghasilannya biasa biasa saja.

Malam itu, Putri memutuskan untuk pulang walau jam masih menunjukkan pukul 7 malam. Badannya lelah. Sekolah dan kerjaanya sudah membebani pikirannya.
Ketka dia akan memasuki rumahnya, terdengar gelak tawa Ibunya memenuhi ruangan. Putri tercengang mendengar gelak tawa itu. Sudah lama dia tidak mendengar tawa Maknya.
Putri membuka pintu, hendak lari memeluk ibunya dan tawa yang dia rindukan itu.
Ketika disana terlihat Maknya dengan pakaian ketat dan rok mini dan Herman saling memeluk dan menggoda.

---------------------------------------@@@@@@@@@@@@@@@---------------------------------

inspired by PIM, jakarta.
Amsterdam, 29 oktober 2004,..
Finaly, setelah bertaun taun berhenti berkarya..
(disaat assignment2 sudah berteriak minta diselesaikan)

1 Comments:

Blogger CUPI said...

ceritanya bagus saya suka .. salam kenal ..

12:53 AM  

Post a Comment

<< Home